Harga pupuk menjadi perhatian kembali ketika Menteri Pertanian Anton Apriyantono di Karawang, Jawa Barat, menyatakan, akan menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi. Pada 1 Januari 2007 harganya akan naik sebesar 50 persen, kendati kemudian Menteri Pertanian memeperbaiki pernyataannya.
Harga pupuk tidak naik namun sedang digodok upaya untuk menekan harga pupuk, dan memberikan keringanan terhadap petani. Keuntungan produsen tidak perlu terlalu besar. Untungnya secukupnya tetapi, juga tidak merugikan produsen pupuk.
Dari waktu ke waktu petani selalu menjadi sasaran kebijakan yang merugikan mereka. Pemberdayaan petani yang menjadi tugas pemerintah tidak dijalankan sebagaimana mestinya untuk mengangkat standar hidup petani yang kebanyakan miskin. Pemerintah lebih memperhatikan kepentingan produksi pendukung pertanian seperti produsen pupuk, produsen alat-alat pertanian, pestisida, benih dan lain-lain.
Produsen dan mereka yang bekerja di sektor industri pendukung pertanian lebih makmur daripada petaninya sendiri. Kemakmuran mereka mengalir juga ke para pejabat terkait.
Pemerintah juga lebih suka menggunakan jalan pintas untuk pemenuhan kebutuhan pangan dengan mengimpor beras, daripada berupaya keras meningkatkan produksi pangan dalam negeri. Impor beras apapun alasannya selalu akan merugikan petani, di pihak lain importir dan penyalur beras impor tersebut yang diuntungkan.
Uang bermiliar-miliar mengalir ke kantong mereka dan para pejabat yang menerima imbas rente dari proses impor ini. Dalam kunjungan ke Maros, Sulawesi Selatan (25 November 2006), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapat kritik tajam dari para petani perihal kenaikan harga pupuk dan stagnannya harga gabah. Mereka juga mengeluh tentang makin buruknya nasib petani.
Dalam pertemuan dengan petani Maros ini, Presiden berjanji, jika harga pupuk naik, harga gabah juga naik. Masalahnya bukan apakah harga pupuk berbanding lurus dengan harga gabah. Masalahnya adalah dengan pupuk gratispun kesejahteraan petani tidak akan bergerak lebih baik. Harga gabah yang tinggi juga akan memukul balik petani dan penduduk miskin lainnya.
Harga produk-produk pertanian terutama gabah yang rendah, tingkat produktivitas yang rendah, rata-rata lahan petani yang sempit, meningkatnya biaya produksi menyebabkan pendapatan petani di bawah upah minimum regional (UMR). Artinya, dibandingkan dengan para pekerja industri rata-rata pendapatan petani masih lebih rendah.
Indonesia dikenal sebagai negara agraris, lebih dari 60 persen penduduknya hidup dari pertanian. Menurut Bank Dunia, 41 juta orang Indonesia bekerja di sektor pertanian, sehingga yang hidup dari sektor ini bisa mencapai 120 juta orang. Dengan demikian, bisa dikatakan 120 juta atau 60 persen penduduk Indonesia hidup di bawah hidup layak (jika upah minimum regional bisa dijadikan indikator hidup layak).
Kekurangan Pangan Dalam pengarahannya di Bogor dalam acara Dewan Ketahanan Pangan pekan lalu, Presiden Yudhoyono menyatakan, sangatlah ironis jika Indonesia yang sudah merdeka selama 60 tahun lebih, tetapi hingga kini sebagian petani kecil dan para buruh tani masih miskin dan kelaparan.
Lebih ironis lagi, jika kekurangan pangan itu masih terjadi di kalangan buruh (tani) dan para petani yang justru pekerjaannya sehari-hari adalah bercocok tanam dan menanam padi.
Itu karena memang penghasilannya masih sangat kecil. Namun, Presiden tidak memberi jalan keluar yang kompeherensif. Revitalisasi Pertanian yang dicanangkan Presiden tahun lalu belum memberi dampak apapun bagi perbaikan hidup petani.
Dengan produktivitas yang rendah tersebut, maka kontribusi pertanian dalam Pendapatan Domestik Bruto (PDB) kecil. Dengan demikian, APBN harus digunakan untuk redistribusi pendapatan. Sektor pertanian yang kecil kontribusinya, mendapat subsidi dari sektor lain.
Dibandingkan antara input dan output di sektor pertanian, ternyata nilai tambah yang diterima petani dibandingkan dengan investasi dan modal kerja dibading produksi, tidak memberi hasil signifikan, cenderung merugi. Hal ini terjadi antara lain karena perlakuan produk industri mengacu pada pasar, sementara produk pertanian ditentutan dalam tata niaga yang harganya sudah ditentukan.
Harga produk pertanian bergerak naik dengan lamban namun harga produk industri bergerak cepat. Sepuluh tahun lalu misalnya, 5 kilogram beras bisa ditukar dengan alroji buatan Swiss, namun kini mungkin dibutuhkan 50 kilogram beras.
Solusi dari masalah ini adalah bagaimana menjadikan produk pertanian memperoleh nilai tambah. Di Indonesia, dengan sistem atau pola pertanian subsisten dan berskala kecil maka konsolidasi lahan dan orang (corporate farming) menjadi program yang utama. Revitalisasi pertanian harus dijalankan secara komprehensif, termasuk program redistribusi tanah untuk dikelola koperasi-koperasi petani dan intensifikasi pertanian kota.
Bantuan Untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, maka para petani bahan pangan, dibantu pemerintah dan organisasi-organisasi non pemerintah, diberi tugas untuk memenuhinya (swasembada pangan), jika perlu produksinya dilebihkan untuk ekspor. Dengan tugas yang berat ini para petani diberi insentif dan fasilitas khusus, seperti bebas biaya pendidikan bagi anak-anak mereka, alat-alat pertanian gratis, lumbung desa, pupuk, pestisida yang murah dan sebagainya. Koperasi-koperasi petani diberi saham di pabrik-pabrik pupuk dan pestisida milik negara.
Pada saat yang bersamaan, holtikultura harus dikembangkan agar pasar nasional tidak diserbu produk-produk Thailand, Vietnam, Malaysia yang lahannya lebih sempit dari lahan kita. Departemen Pertanian juga harus mengintentarisasi produk-produk pertanian yang memiliki nilai tambah yang tinggi seperti minyak nilam, kastor oil, jarak kepyar dan lain-lain yang memiliki nilai ekspor. Gandum tropis yang sudah berhasil ujicobanya juga selayaknya dikembangkan agar tidak tergantung impor gandum.
Untuk menciptakan petani Indonesia yang sejahtera, diperlukan peran berbagai pihak. Salah satunya yang sangat relevan adalah peran Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Selama ini HKTI tidak menunjukkan peran yang luar biasa dalam kesejahteraan petani. Hal itu karena, HKTI lebih banyak dijadikan portofolio politik oleh orang-orang yang beraktivitas di bidang politik. Demikian juga partai politik yang hanya pandai menyusun retorika untuk kaum petani, tetapi tidak pandai mewujudkan retorika tersebut di kalangan petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar