Sabtu, 27 Februari 2010

BAB. II WAWASAN NUSANTARA (Wawasan Nasional, Paham Kekuasaan dan Teori Geopolitik)

Pengertian dan Hakekat Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara adalah cara pandang Bangsa Indonesia terhadap rakyat, bangsa dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi darat, laut dan udara di atasnya sebagai satu kesatuan Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya dan Pertahanan Keamanan.

Latar belakang dan proses terbentuknya wawasan nusantara setiap bangsa
Salah satu persyaratan mutlak harus dimiliki oleh sebuah negara adalah wilayah kedaulatan, di samping rakyat dan pemerintahan yang diakui. Konsep dasar wilayah negara kepulauan telah diletakkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Deklarasi tersebut memiliki nilai sangat strategis bagi bangsa Indonesia, karena telah melahirkan konsep Wawasan Nusantara yang menyatukan wilayah Indonesia. Laut Nusantara bukan lagi sebagai pemisah, akan tetapi sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang disikapi sebagai wilayah kedaulatan mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada bangsa yang secara eksplisit mempunyai cara bagaimana ia memandang tanah airnya beserta lingkungannya. Cara pandang itu biasa dinamakan wawasan nasional. Sebagai contoh, Inggris dengan pandangan nasionalnya berbunyi: "Britain rules the waves". Ini berarti tanah Inggris bukan hanya sebatas pulaunya, tetapi juga lautnya.
Tetapi cukup banyak juga negara yang tidak mempunyai wawasan, seperti: Thailand, Perancis, Myanmar dan sebagainya. Indonesia wawasan nasionalnya adalah wawasan nusantara yang disingkat Wanus. Wanus ialah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang sarwa nusantara dan penekanannya dalam mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah lingkungannya yang sarwa nusantara itu. Unsur-unsur dasar wasantara itu ialah: wadah (contour atau organisasi), isi, dan tata laku. Dari wadah dan isi wasantara itu, tampak adanya bidang-bidang usaha untuk mencapai kesatuan dan keserasian dalam bidang-bidang:
• Satu kesatuan wilayah
• Satu kesatuan bangsa
• Satu kesatuan budaya
• Satu kesatuan ekonomi
• Satu kesatuan hankam.
Jelaslah disini bahwa Wanus adalah pengejawantahan falsafah Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah negara Republik Indonesia. Kelengkapan dan keutuhan pelaksanaan Wanus akan terwujud dalam terselenggaranya ketahanan nasional Indonesia yang senantiasa harus ditingkatkan sesuai dengan tuntutan zaman. Ketahanan nasional itu akan dapat meningkat jika ada pembangunan yang meningkat, dalam "koridor" Wanus.
Konsep geopolitik dan geostrategi
Bila diperhatikan lebih jauh kepulauan Indonesia yang duapertiga wilayahnya adalah laut membentang ke utara dengan pusatnya di pulau Jawa membentuk gambaran kipas. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas aktif. , sedangkan geostrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Dengan mengacu pada kondisi geografi bercirikan maritim, maka diperlukan strategi besar (grand strategy) maritim sejalan dengan doktrin pertahanan defensif aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan adalah laut. Implementasi dari strategi maritim adalah mewujudkan kekuatan maritim (maritime power) yang dapat menjamin kedaulatan dan integritas wilayah dari berbagai ancaman.
Wawasan nusantara sebagai geopolitik Indonesia
Nusantara (archipelagic) dipahami sebagai konsep kewilayahan nasional dengan penekanan bahwa wilayah negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh laut. Laut yang menghubungkan dan mempersatukan pulau-pulau yang tersebar di seantero khatulistiwa. Sedangkan Wawasan Nusantara adalah konsep politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Wawasan Nusantara sebagai konsepsi politik dan kenegaraan yang merupakan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia telah ditegaskan dalam GBHN dengan Tap. MPR No.IV tahun 1973. Penetapan ini merupakan tahapan akhir perkembangan konsepsi negara kepulauan yang telah diperjuangkan sejak Dekrarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957.

BAB. I PENGANTAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (Hak Azasi Manusia - HAM)

Hak Azasi Manusia (HAM)
Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya.
Namun demikian, pemasukan pasal-pasal mengenai HAM sebagai suatu jaminan konstitusi (constitutional guarantee) ternyata masih menyimpan banyak perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi HAM. Fokus permasalahan terjadi pada dua pasal yang apabila dibaca secara sederhana mempunyai pengertian yang saling bertolak belakang, yaitu mengenai ketentuan terhadap non-derogable rights (Pasal 28I) dan ketentuan mengenai human rights limitation (Pasal 28J). Benarkah dalam UUD 1945 itu tersendiri terdapat pembatasan atas ketentuan HAM, termasuk di dalamnya terhadap Pasal 28I yang di akhir kalimatnya berbunyi ”…adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”? Tulisan ringan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pendapat the 2nd founding parents serta tafsir resmi dari Mahkamah Konstitusi.
Rujukan Dasar
Rujukan yang melatarbelakangi perumusan Bab XA (Hak Asasi Manusia) UUD 1945 adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Hal ini dikemukakan oleh Lukman Hakim Saefuddin dan Patrialis Akbar, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, pada persidangan resmi di Mahkamah Konstitusi bertanggal 23 Mei 2007. Ketetapan MPR tersebut kemudian melahirkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya, baik itu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 maupun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sama yakni menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas.Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”
Konstitusionalisme Indonesia
Dalam perkara yang sama, Mahkamah menilai bahwa apabila kita melihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
2. Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”;
3. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis”;
4. UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan paham konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di atas;
Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang HAM sebagaimana telah diuraikan di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh yaitu adanya pembatasan mengenai hak untuk hidup (right to life):
1. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”, namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”;
2. UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun, Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
Selain itu, putusan Mahkamah yang dapat kita jadikan rujukan mengenai pembatasan terhadap HAM di Indonesia yaitu Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 mengenai pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Soares
Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam konteks ini, Mahkamah menafsirkan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak.
Oleh karena hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” dapat dibatasi, maka secara prima facie berbagai ketentuan hak asasi manusia di luar dari Pasal tersebut, seperti misalnya kebebasan beragama (Pasal 28E), hak untuk berkomunikasi (Pasal 28F), ataupun hak atas harta benda (Pasal 28G) sudah pasti dapat pula dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
Kesimpulan
Adanya tafsir resmi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya terkait dengan pembatasan HAM di Indonesia telah memberikan kejelasan bahwasanya tidak ada satupun Hak Asasi Manusia di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. Penulis sangat memahami apabila banyak pihak yang beranggapan bahwa konstruksi HAM di Indonesia masih menunjukan sifat konservatif, terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia lainnya. Lebih lanjut, apabila kita menggunakan salah satu dari pilihan penafsiran hukum tata negara yang berjumlah sebanyak dua puluh tiga macam, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya “Pengantar Hukum Tata Negara”, tentunya semakin membuahkan hasil penafsiran yang beraneka ragam.
Namun demikian, Hukum Tata Negara haruslah kita artikan sebagai apa pun yang telah disahkan sebagai konstitusi atau hukum oleh lembaga yang berwenang, terlepas dari soal sesuai dengan teori tertentu atau tidak, terlepas dari sama atau tidak sama dengan yang berlaku di negara lain, dan terlepas dari soal sesuai dengan keinginan ideal atau tidak. Inilah yang disebut oleh Prof. Mahfud M.D sebagai “Politik Hukum” dalam buku terbarunya berjudul “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”. Menurutnya, Hukum Tata Negara Indonesia tidak harus sama dan tidak pula harus berbeda dengan teori atau dengan yang berlaku di negara lain. Apa yang ditetapkan secara resmi sebagai hukum tata negara itulah yang berlaku, apa pun penilaian yang diberikan terhadapnya.
Terlepas dari semua hal tersebut di atas, satu hal yang perlu kita kita garis bawahi di sini bahwa Konstitusi haruslah dapat mengikuti perkembangan jaman sehingga acapkali ia dikatakan sebagai a living constitution. Oleh karena itu, konsepsi pembatasan terhadap HAM pada saat ini dapat saja berubah di masa yang akan datang. Sekarang tinggal bagaimana mereka yang menginginkan adanya perubahan konstruksi pemikiran ke arah tertentu, dapat memanfaatkan jalur-jalur konstitusional yang telah tersedia, misalnya dengan menempuh constitutional amandmend, legislative review, judicial review, constitutional conventions, judicial jurisprudence, atau pengembangan ilmu hukum sebagai ius comminis opinio doctorum sekalipun

BAB. I PENGANTAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (Konsep Demokrasi, Bentuk Demokrasi, Pendidikan Bela Negara)

Terminologi demokrasi merupakan hasil adopsi dari bahasa yunani kuno yang terdiri dari dua kata ” Demos ” yang mempunyai arti (Rakyat). dan “Kratos” yang berarti (pemerintahan). Dengan demikian demokrasai dapat di definisikan sebagai sebuah system pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan di jalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih melalui system pemilihan bebas. Ringkasnya bahwa demokarsi merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Abraham Lincoln adalah bapak demokrasi dunia, dialah yang menggagas ide kedaulatan rakyat sepenuhnya memegang kekuasaan pemerintahan secara mutlak. Sekularisme merupakan asas utama system demokrasi. Makanya tidak jarang negara negara yang di kenal “demokratis” memasung arti demokrasi itu sendiri dengan dalih sekularisme. Di Prancis dan beberapa negara lainya di Eropa melarang sejumlah hal atas nama demokasi. Seperti pelarangan jilbab. Karena hal itu di klaim bertentangan dengan skularisme yang notabeninya sebagai asas demokrasi. Bahkan Islam sering di tuduh mengancam sekularisme. Dan untuk memperkuat tuduhan tersebut, kelompok islam yang di klaim menentang sekularisme kemudian di kaitkan dengan tindakan terorisme.
Konsep Demokrasi

Seperti halnya di atas, bahwa konsep demokrasi adalah kedaulatan pemerintah sepenuhnya di tangan rakyat melalui wakil wakilnya yang duduk di perlamen yang di pilih melalui pemilihan umum. Akan tetapi, benarkah demikian praktiknya?
Faktanya, kalau kita melihat negara negara yang menganut system demokrasi seperti Prancis, AS dan lain sebagainya. Wakil wakil rakyat yang duduk di parlemen pada esensinya hanya mewakili kehendak kaum kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Karena dalam system kapitalis calon anggota parlemen harus lah memiliki modal yang besar atau kalau tidak, dia akan di calonkan dan di sponsori oleh para pengusaha kaya.
Para kapitalis inilah yang sengaja mendudukkan mereka di berbagai posisi strategis pemerintahan atau lembaga lembaga perwakilan dengan harapan mereka dapat merealisasikan kepentingan kaum kapitalis tersebut. Di Inggris sebagian besar anggota parlemen ini mewakili para penguasa, pemilik tanah, serta golongan bangsa wan aristocrat.
Kritik pun bermunculan dengan realita ini. Bahkan seperti Gatano Mosca, Clfrede Pareto, dan Robert Micheels cenderung melihat demokrasi hanya sebagai topeng ediologis yang melindungi tirani manoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya , yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas sekelompok besar yang lain. Memang secara konsep, demokrasi sering menyatakan bahwa semua orang bisa menempati jabatan strategis pemerintahan tersebut baik sipil maupun militer. Akan tetapi dalam realitanya jabatan jabatan penting itu hanya di duduki oleh golongan golongan tertentu.
Dalam demokarasi setiap keputusan di ambil dari suara mayoritas rakyat.. Konsep inipun sering tidak sesuai dengan kenyataanya. Pengambilan keputusan tetap saja di monopoli oleh kelompok yang berkuasa. Karena itu, keputusan yang diambil oleh parlemen pastilah sangat memihak para kaum kapitalis tersebut.
Mungkin kita masih ingat dengan aksi serangan AS terhadap Irak. Hal itu tidak lepas dari besarnya kepentingan ekonomi para pengusaha minyak AS. Sehingga dewan parlemen Negara Paman Sam ini melegalisasi invansi serangan AS terhadap Irak karena terselubung kepentingan para kaum kapitalis. Meskipun tuduhan terhadap Irak dalam kepemilikan senjata nuklir tidak bisa di buktikan.
Sejarah Inggris mencatat, Perdana Menteri Anthony Eden misalnya bahkan pernah mengumumkan perang terhadap mesir dalam krisis Suez tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan parlemen. Sebenarnya anggota parlemen lebih sering hanya menjadi boneka hidup yang di setir oleh badan eksekutif (presiden atau perdana menteri) seperti yang terjadi pada zaman Orde Baru.
Ide utama demokrasi adalah terwujudnya kebebasan (freedom) baik freedom of thinking (kebebasan berfikir) maupun freedom of speech (kebebasan berbicara). Padahal dalam faktanya, system demokrasi pun masih memberikan batasan kebebasan dalam berpendapat. Hal ini wajar, karena dalam system apapun kebebasan itu tetap ada batasannya. Akan tetapi kecurangan para pendukung konsep demokrasi ini sering mengklaim bahwa hanya sestem demokrasilah yang membuka lebar kran kebebasan perpendapat sementara system ediologi lain tidak.
Klaim demokrasi akan menciptakan kesejahteran dan stabilitas akan hanya menjadi mitos belaka. Karena tidak ada relevansi antara demokrasi dan kesejahteraan yang dapat di buktikan. beberapa negara berkembang yang di kenal demokratis seperti Filipina atau India ternyata bukanlah negara yang sejahtera. Penduduknya juga masih banyak yang hidup dalam pederitaan.
Indonesia pun yang yang sering dipuji karena lebih demokratis pada masa reformasi mayoritas rakyatnya juga jauh dari sejahtera. Justru sebaliknya, banyak negara yang di kenal tidak demokratis negaranya kaya seperti Saudi Arabia, Kuwait, Brunei Darussalam dan sebagainya. Maka dari itu demokrasi bukanlah faktor kunci kesejahteraan sebuah negara.
Stabilitas keamanan pun mulai terusik sejak kran demokrasi terbuka lebar. Di sana sini aksi demonstrasi yang kadang kadang hanya menimbulkan keresahan masyarakat, karena ulah kekerasan para demontran yang anarkhis dan membabi buta. Pemilihan kepala daerah yang sering kisruh di beberapa tempat juga merupakan hasil demokarasi.
Hal serupa tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan merambat ke wilayah dunia seperti disintegrasi negara negara eks komunis seperti soviet dan Yugoslavia yang mengatasnamakan demokrasi. Kemudian menjadi sumber munculnya fanatisme, nasionalisme atas nama bangsa sehingga mereka masing masing menuntut kemerdekaan bangsa.
Demokrasi Langsung: Praktik demokrasi paling tua; praktik demokrasi pada asosiasi yang berukuran kecil. Berdasarkan pada partisipasi langsung, tanpa perwakilan dan terus menerus dari warga dewasa dalam membuat dan melaksankan keputusan bersama. Tidak terdapat batas yang tegas antara pemerintah dan yang diperintah (semacam system self-government) pemerintah dan yang diperintah adalah orang yang sama. Sistem kelembagaan: pertemuan warga (mass meeting, town meeting, pertemuan RT/RW, dll), referendum
Demokrasi Perwakilan: Praktik demokrasi yang dating lebih belakangan sebagai jawaban terhadap beberapa kelemahan demokrasi langsung; parktik demokrasi pada asosiasi yang berukuran besar seperti Negara. Berdasarkan pada partisipasi yang terbatas à partisipasi warga hanya dalam waktu yang singkat dan hanya dilakukan beberapa kali dalam kurun waktu tertentu seperti dalam bentuk keikutsertaan dalam pemilihan umum. Berdasarkan pada partisipasi yang tidak langsung à masyarakat tidak mengoperasikan kekuasaan sendiri tapi memilih wakil yang akan membuat kebijakan atas nama masyarakat
Pemerintah dan yang diperintah terpisah secara tegas à demokratis tidaknya demokrasi bentuk ini tergantung pada kemempauan para wakil yang dipilih membangun dan mempertahankan hubungan yang efektif antara pemerintah dan yang diperintah
Sistem kelembagaan:
para wakil rakyat yang dipilh: parlemen
para pejabat Negara yang dipilih: kepala pemerintahan dan pembantu-pembantunya, judikatif, dll. Pemilihan umum yang adil, bebas dan berkala; Media massa yang membuka kesempatan bagi kebebasan berpendapat dan kebebasan mendapatkan informasi dan pengetahuan
Sistem asosiasi yang bersifat otonom: partai politik, organisasi massa, dll; Hak pilih bagi semua orang dewasa dan hak untuk menduduki jabatan-jabatan publik
Demokrasi Permusyawaratan: Bentuk demokrasi paling kontemporer; dipraktikan pada masyarakat yang kompleks dan berukuran besar à bentuk demokrasi yang menggabungkan aspek partisipasi langsung dan bentuk demokrasi perwakilan; Memberikan tekanan yang berbeda dalam memahami makna kedaulatan rakyat: kedaulatan: kedaulatan berkaitan dengan keterlibatan masyarakat dalam membicarakan, mendiskusikan dan mendebatkan isu-isu bersama atau dalam menentukan apa yang pantas dianggap isu bersama à demokratis tidaknya sebuah kebijakan tergantung pada apakah kebijakan tersebut sudah melalui proses pembicaraan, diskusi dan perdebatan (baca: permusyawaratan) yang melibatkan masyarakat luas; Ada pemisahan yang tegas antara pemerintah dan yang diperintah. Tapi pemisahan yang lebih penting adalah antara Negara dan masyarakat sipil. Negara merupakan tempat menggodok dan melaksanakan kebijakan. Masyarakat sipil merupakan tempat berlangsungnya “permusyawaratan”. Selain itu ada juga pemisahan antara wilayah public dan wilayah privat. Wilayah public adalah wilayah “permusyawaratan; wilayah privat adalah wilayah tenpat seseorang memikirkan apa isu yang penting dan kenapa isu itu perlu dibicarakan, didiskusikan dan didebatkan secara public. Sistem kelembagaan:
Semua sistem kelembagaan demokrasi perwakilan. Debat public; lewat media massa, lewat pertemuan warga yang terjadi secara spontan di tempat-tempat publik.
Perkenbangan Pendidikan Bela Negara
Pendidikan Pendahuluan Bela Negara ( PPBN ) bukan pendidikan kemiliteran, tetapi merupakan penanaman jiwa dan semangat nasional, penanaman jiwa patriotik, penanaman jiwa militansi bagi pembangunan bangsa. Pembangunan bangsa adalah usaha sadar yang dilakukan oleh seluruh bangsa guna meningkatkan taraf hidup bangsa kepada taraf yang lebih tinggi, lebih makmur, lebih sentosa, lebih sejahtera dan lebih aman.
Seluruh rakyat Indonesia harus sadar akan tanggung jawabnya, sadar hak dan kewajibannya, sadar akan peranannya sebagai partisipan manusia pembangunan. Kesadaran ini perlu dibina secara dini, dikembangkan di setiap kehidupan, baik di lingkungan kehidupan pendidikan, pekerjaan ataupun lingkungan pemukiman.
Tujuan Bela Negara tersebut adalah untuk mengetahui sampai sejauhmana pemahaman terhadap bela negara dan kesadaran pentingnya persatuan dan kesatuan, dan juga diharapkan dapat menumbuhkan kembangkan sikap, perilaku yang baik untuk melakukan kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara dengan baik, sebagai cerminan dari sikap bela negara.

BAB. I PENGANTAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (Latar Belakang, Landasan, Tujuan)

Pada hakekatnya pendidikan adalah upaya sadar dari suatu masyarakat dan pemerintah suatu negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan kehidupan generasi penerusnya.Selaku warga masyarakat,warga bangsa dan negara,secara berguna dan bermakna serta mampu mengantisipasi hari depan mereka yang selalu berunah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya,bangsa,negara dan hubungan international,maka pendidikan tinggi tidak dapat mengabaikan realita kehidupan yang mengglobal yang digambarka sebagai perubahan kehidupan yang penuh dengan paradoksal dan ketidak keterdugaan.
Dalam kehidupan kampus di seluruh perguruan tinggi indonesia,harus dikembangkan menjadi lingkungan ilmiah yang dinamik,berwawasan budaya bangsa,bermoral keagamaan dan berkepribadian indonesia.Untuk pembekalan kepada para mahasiswa di indonesia berkenaan dengan pemupukan nilai-nilai,sikap dan kepribadian,diandalkan kepada pendidikan pancasila,Bela Negara,Ilmu Sosial Dasar,Ilmu Budaya Dasar dan Ilmu Alamiah Dasar sebagai latar aplikasi nilai dalma kehidupan,yang disebut Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK).
Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan
1. Perjalanan panjang sejarah Bangsa Indonesia sejak era sebelum dan selama penjajahan ,dilanjutkan era merebut dan mempertahankan kemerdekaan sampai dengan mengisi kemerdekaan,menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda-beda sesuai dengan zamannya. Kondisi dan tuntutan yang berbeda-beda diharap bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nulai kejuangan bangsa yang dilandasi jiwa,tekad dan semangat kebangsaan. Semangat perjuangan bangsa yang tidak mengenal menyerah harus dimiliki oleh setiap warga negara Republik Indonesia.
2. Semangat perjuangan bangsa mengalami pasang surut sesuai dinamika perjalanan kehidupan yang disebabkan antara lain pengaruh globalisasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan IPTEK, khususnya dibidang informasi, Komunikasi dan Transportasi, sehingga dunia menjadi transparan yang seolah-olah menjadi kampung sedunia tanpa mengenal batas negara. Kondisi yang demikian menciptakan struktur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia serta mempengaruhi pola pikir, sikap dan tindakan masyarakat Indonesia.
3. Semangat perjuangan bangsa indonesia dalam mengisi kemerdekaan dan menghadapi globalisasi. Warga negara Indonesia perlu memiliki wawasan dan kesadaran bernegara,sikap dan perilaku, cinta tanah air serta mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka bela negara demi utuh dan tegaknya NKRI.
Maksud dan Tujuan
a. Maksud
Untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga negara dengan negara serta PPBN sebagai bekal, agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
b. Tujuan
1. Agar para mahasiswa memahami dan mampu melaksanakan hak dan kewajibannya secara santun, jujur dan demokratis serta ikhlas.
2. Memupuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, patriotisme, cinta tanah air dan rela berkorban bagi bangsa dan negara.
3. Menguasai pengetahuan dan memahami aneka ragam masalah dasar kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang akan diatasi dengan pemikiran berdasarkan Pancasila, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional secara kritis dan betanggung jawab.
LANDASAN HUKUM
Pendidikan kewiraan dimasukan dalam kurikulum Pendidikan Tinggi berdasarkan keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan BersenjataRepublik Indonesia melalui surat keputusan nomor : 022/U/1973-kep/B/43/XII/1973 tanggal 8 desember 1973 tentang Penyelenggaraan pendidikan kewiraan. Namun realisasidari surat keputusan bersama tersebut baru terwujud pada tahun akademik 1974/1975, berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan kebudayaan No.0228/U/1974 tanggal 2 oktober 1974. Undang-undangyang melandasi kerjasama Menteri Hankam dan Menteri Dikbud pada waktu itu ialah UU No.22 tahun 1954 tentang Perguruan Tinggi.
Dengan terbitnya UU No.20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan keamanan Negara, hal-hal yang berkaitan dengan Pendidikan kewiraan diakomodasikan dalam UU itu sebagai berikut
1.Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) adalah Pendidikan dasar bela Negara guna menumbuhkan kecintaan kepada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, kerelaan berkorban untuk Negaraserta memberikan kemampuan awal bela Negara
2.PPBN sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional
3.PPBN diselenggarakan guna memasyarakatkan upaya bela Negara serta menegakkan hak dan kewajiban warganegara dalam bela Negara
4.PPBN wajib ikut oleh setiap warga Negara dan dilaksanakan secara bertahap yaitu :
a.Tahap awal pada Pendidikan Dasar sampai menengah Atas dan dalam gerakan
b. Tahap lanjutan dalam bentuk Pendidikan Kewiraan
Dengan terbitnya UU No.20 tahun 1982 itu, Penyelenggaraan Pendidikan Kewiraan , mengalami penyempurnaannya. Dengan surat keputusan bersama Mendikbud dan Menhankam No.061/U/1985 dan No Kep/002/11/1985 tanggal I februari 1985 tentang kerjasama dalam pembinaan Pendidikan Kewiraan dilingkungan Perguruan Tinggi dan ditetapkan sebagai mata kuliah wajib dan merupakan bagiandari mata kuliah umum (MKDU).


PENGERTIAN DAN PEMAHAMAN TENTANG BANGSA DAN NEGARA
1. Pengertian Bangsa
Bangsa adalah orang – orang yang memiliki kesamaan asal keturunan, adapt, bahasa dan sejarah serta berpemerintahan sendiri. Bangsa adalah kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan wilayah tertentu di muka bumi ( Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Depdikbud, halaman 89 ). Dengan demikian, Bangsa Indonesia adalah sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan yang sama dan menyatakan dirinya sebagai satu bangsa serta berproses di dalam satu wilayah : Nusantara/Indonesia.
1. Terbentuknya Bangsa
Menurut pandangan Hans Kohn, kebanyakan bangsa terbentuk karena adanya faktor – faktor objektif tertentu yang membedakannya dari bangsa lain, yakni : kesamaan keturunan, wilayah, bahasa, adat istiadat , kesamaan politik, perasaan dan agama. Dengan demikian, faktor obyektif terpenting terbentuknya suatu bangsa adalah adanya kehendak atau kemauan bersama atau “ Nasionalisme “.
Friedrich Hertz ( Jerman ) dalam bukunya Nationality in History and Politics mengemukakan bahwa ada empat unsure yang berpengaruh dalam terbentuknya suatu bangsa, yaitu:
1. Keinginan untuk mencapai kesatuan nasional yang terdiri atas kesatuan social, ekonomi, politik, agama, kebudayaan, komunikasi, dan solidaritas.
2. Keinginan untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan nasinal sepenuhnya, yaitu bebas dari dominasi dan campur tangan bangsa asing terhadap urusan dalam negerinya.
3. Keinginan akan kemandirian, keunggulan, individualitas, keaslian atau kekhasan. Contoh : menjunjung tinggi bahasa nasional yang mandiri.
4. Keinginan untuk menonjol ( unggul ) di antara bangsa – bangsa dalam mengejar kehormatan, pengaruh dan prestise.
1. Pengertian dan Pemahaman Negara
Secara etimologis, “ Negara “ berasal dari bahasa asing Staat ( Belanda, Jerman ), atau state ( Inggris ). Kata staat maupun state berakar dai bahasa latin, yaitu status atau statum yang berarti “ menempatkan dalam keadaan berdiri, dan menempatkan “,. Kata status juga dapat diartikan sebagai sesuatu keadaan yang menunjukkan sifat atau keadaan tegak dan tetap. Sementara itu, Niccolo Machiavelli memperkenalkan istilah La Stato dalam bukunya “ Il Principe “ yang mengartikan negara sebagai kekuasaan. Buku itu juga mengajarkan bagaimana seharusnya seorang raja memerintah dengan sebaik – baiknya.
Kata “ Negara “ yang lazim digunakan di Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta nagari atau nagara, yang berarti wilayah, kota, atau penguasa. Pada masa Kerajaan Majapahit abad XIV, seperti tertulis dalam buku Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca ( 1365 ), digambarkan tentang pemerintahan Majapahit yang menghormati musyawarah, hubungan antar daerah, dan hubungan dengan negara – negara tetangga.
Pengertian Negara
1. Negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama – sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tersebut.
1. Negara adalah satu perserikatan yang melaksanakan satu pemerintahan melalui hokum yang mengikat masyarakat dengan kekuasaan untuk memaksa untuk ketertiban sosial.masyarakat ini berada dalam satu wilayah tertentu yang membedakannya dari kondisi masyarakat lain diluarnya.
d. Teori Terbentuknya Negara
1. Teori Hukum Alam. Pemikiran pada masa Plato dan Aristoteles :
Kondisi Alam à Tumbuhnya Manusia à Berkembangnya Negara.
1. Teori Ketuhanan. ( Islam + Kristen ) à Segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan.
2. Teori Perjanjian ( Thomas Hobbes ). Manusia menghadapi kondisi alam dan timbullah kekerasan. Manusia akan musnah bila ia tidak mengubah cara – caranya. Manusia pun bersatu untuk mengatasi tantangan dan menggunakan persatuan dalam gerak tunggal untuk kebutuhan bersama.
e. Proses Terbentuknya Negara di Zaman Modern
Proses tersebut dapat berupa penaklukan, peleburan ( fusi ). Pemisahan diri, dan pendudukan atas negara atau wilayah yang belum ada pemerintahan sebelumnya.
f. Unsur Negara
a) Bersifat Konstitutif. Ini berarti bahwa dalam negara tersebut terdapat wilayah yang meliputi udara, darat, dan perairan ( dalam hal ini unsure perairan tidak mutlak ), rakyat atau masyarakat, dan pemerintahan yang berdaulat.
b) Bersifat Deklaratif. Sifat ini ditunjukkan oleh adanya tujuan negara, undang – undang dasar, pengakuan dari negara lain baik secara “ de jure “ maupun “ de facto “, dan masuknya negara dalam perhimpunan bangsa – bangsa, misalnya PBB.
g. Bentuk Negara
Sebuah negara dapat berbentuk negara kesatuan ( unitary state ) dan negara serikat ( federation ).
h. Negara dan Warga Negara dalam Sistem Kenegaraan di Indonesia
Kedudukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara yang pada dasarnya mensyaratkan adanya wilayah, pemerintahan, penduduk sebagai warga negara, dan pengakuan dari negara – negara lain sudah dipenuhi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ). NKRI adalah negara berdaulat yang mendapatkan pengakuan dari dunia internasional dan menjadi anggota PBB. NKRI mempunyai kedudukan dan kewajiban yang sama dengan negara – negara lain di dunia karena kehidupan di NKRI tidak dapat terlepas dari pengaruh kehidupan dunia internasional ( global ). NKRI didirikan berdasarkan UUD 1945 yang mengatur tentang kewajiban negara terhadap warganya dan hak serta kewajiban warga negara terhadap negaranya dalam suatu system kenegaraan. Kewajiban negara terhadap warganya pada dasarnya adalah memberikan kesejahteraan hidup dan keamanan lahir batin sesuai dengan system demokrasi yang dianutnya. Negara juga wajib melindungi hak asasi warganya sebagai manusia secara individual ( HAM) berdasarkan ketentuan internasional, yang dibatasi oleh ketentuan agama, etika moral, dan budaya yang berlaku di negara Indonesia dan oleh system kenegaraan yang digunakan.

Hak Dan Kewajiban warga Negara
Hak dan Kewajiban Sebagai Warga Negara Indonesia
Berikut ini adalah beberapa contoh hak dan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama satu sama lain tanpa terkecuali. Persamaaan antara manusia selalu dijunjung tinggi untuk menghindari berbagai kecemburuan sosial yang dapat memicu berbagai permasalahan di kemudian hari.
Namun biasanya bagi yang memiliki banyak uang atau tajir bisa memiliki tambahan hak dan pengurangan kewajiban sebagai warga negara kesatuan republik Indonesia.
A. Contoh Hak Warga Negara Indonesia
1. Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum
2. Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
3. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan
4. Setiap warga negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing yang dipercayai
5. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
6. Setiap warga negara berhak mempertahankan wilayah negara kesatuan Indonesia atau nkri dari serangan musuh
7. Setiap warga negara memiliki hak sama dalam kemerdekaan berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sesuai undang-undang yang berlaku
B. Contoh Kewajiban Warga Negara Indonesia
1. Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan negara indonesia dari serangan musuh
2. Setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda)
3. Setiap warga negara wajib mentaati serta menjunjung tinggi dasar negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali, serta dijalankan dengan sebaik-baiknya
4. Setiap warga negara berkewajiban taat, tunduk dan patuh terhadap segala hukum yang berlaku di wilayah negara indonesia
5. Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun bangsa agar bangsa kita bisa berkembang dan maju ke arah yang lebih baik.

Pengangguran Indonesia Meningkat Pesat

Menurut peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) LIPI, Latif Adam, angka pengangguran di Indonesia diperkirakan akan naik sebesar 9 persen di tahun 2009 dari tahun lalu, sekitar 8.5 persen. Menurutnya, kenaikan junlah pengangguran ini lebih disebabkan menurunnya penyerapan tenaga kerja dalam bidang industri, yang mencapai 36.6 persen pada kuartal kedua di tahun 2008 ini.

Banyak bidang yang mengalami penurunan, termasuk bidang ekonomi yang emnunjukkan semakin melemahnya performa sector tradable (pertanian dan industri). Selain itu, penurunan kemajuan pertanian dan peternakan yang turun masing-masing 5 persen dan 3 persen, juga sector pertambangan dan industri pengolahan.Menurut Latif, masih terdapat juga 12 persen hingga 14 persen angka kemiskinan yang menanti di tahun 2009, sementara penyerapan tenaga kerja secara besar-besaran sepertinya hampir tidak ada.

Latif menambahkan mengenai masalah pengangguran ini diharpakan menjadi perhatian semua pihak, karena pertumbuhan non-tradable yang maju pesat, sementara sector tradable semakin melemah. Untuk itu, diperlukan kerja sama antara pemerintah dan pihak-pihak industri yang berkompeten untuk mendorong terbukanya kesempatan kerja dalam bidang industri. Hal ini sekligus, dipercaya Latif, dapat mengurangi dominasi dari sector non-tradable yang telah menyerap sekitar 70% tenaga kerja produktif.

Menurut data statistic periode Februari 2007 hingga Februari 2008, sector non-tradable yang dominan dalam penyerapan tenaga kerja baru adalah bidang perdagangan dan kemasyarakatan, yang masing-masing meraup sekitar 1,25 juta orang dan 1,82 juta orang, sehingga totalnya mencapai lebih dari 3 juta orang. Sedangkan jumlah tenaga kerja baru yang diserap dalam sector tradable hanya sebesar 430 ribu orang. Latif menilai dari hasil di atas, bahwa telah terjadi proses informalisasi atau dominasi dari sector non-tradable dalam perekonomian Indonesia, dan inilah tanda bahwa perekonomian Indonesia mungkin perlu adanya perbaikan.

Orang Miskin Indonesia Makin Banyak

JUMLAH penduduk miskin dan jumlah pengangguran adalah dua indikator fundamental yang dibutuhkan untuk mengukur apakah proses pembangunan di sebuah negara berhasil, atau tidak.
Dua bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa tingkat pengangguran di Februari 2009 adalah sebesar 9,75 persen. Angka ini lebih rendah dibanding pada Februari 2008 (10,4 persen). Artinya, menurut BPS yang kini bekerja di bawah koordinasi pemerintah via Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kepala Bappenas, telah terjadi pengurangan jumlah pengangguran di tanah air dalam satu tahun terakhir. Benarkah?
Banyak pihak, antara lain Tim Indonesia Bangkit (TIB) telah mengkritisi laporan BPS ini. Menurut TIB yang dimotori oleh sekelompok ekonom seperti Rizal Ramli, Fadhi Hasan, Hendri Saparini, dan Drajad H Wibowo, hasil penelitian BPS itu layak dicurigai, karena faktanya kehidupan masyarakat semakin sulit dan jumlah angkatan kerja menurun drastis.
Dalam waktu dekat ini, giliran perhitungan mengenai jumlah penduduk miskin yang akan diumumkan oleh BPS. Mendahului BPS, Tim Indonesia Bangkit lebih dahulu menyampaikan pandangan mereka tentang tingkat kemiskinan penduduk di Indonesia dalam satu tahun terakhir. Kesimpulannya, jumlah penduduk miskin Indonesia di tahun ini lebih banyak dibanding tahun lalu.
Menurut TIB mudah untuk menyimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan, terutama kalangan bawah, semakin merosot selama setahun terakhir. Lihat saja berbagai kasus gizi buruk, wabah penyakit akibat kualitas makanan dan lingkungan yang buruk, sampai kasus bunuh diri satu keluarga karena himpitan ekonomi, atau kasus anak sekolah bunuh diri karena malu akibat orang tua tak lagi mampu membayar uang sekolah. Kesemua hal ini memberikan gambaran yang jelas bahwa kualitas hidup masyarakat semakin buruk.
TIB juga menggarisbawahi beberapa hal yang mendorong peningkatan jumlah penduduk miskin itu.
Pertama, daya beli rakyat kecil terus merosot. Disebut merosot bila kenaikan pendapatan lebih rendah daripada kenaikan harga barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Salah satu indikator yang sangat gamblang untuk mengukur hal ini adalah upah riil atau upah nominal yang telah disesuaikan dengan inflasi. Ternyata, meskipun inflasi yang tercatat oleh BPS selama setahun terakhir telah cukup rendah, antara 6-7 persen, namun upah riil yang diperoleh masyarakat masih terus mengalami penurunan. Penurunan tersebut bahkan terjadi hampir di semua sektor dan kegiatan ekonomi yang tercatat dalam laporan BPS.
Antara Maret 2008 sampai Maret 2009, upah riil petani, misalnya, mengalami penurunan sekitar 0,2 persen. Pada periode yang sama, upah riil buruh bangunan, pembantu rumah tangga dan potong rambut wanita masing-masing mengalami penurunan sekitar 2 persen, 0,5 persen, dan 2,5 persen. Demikian juga dengan untuk upah riil buruh industri yang mengalami penurunan sekitar 1,2 persen selama tahun 2008.
Penurunan upah riil untuk kelompok rakyat kecil di atas semakin menunjukkan bahwa nilai tambah yang diciptakan ekonomi melalui pertumbuhan GDP sekitar 5,5 persen selama tahun 2008 hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas, yang semakin memperbesar kesenjangan (gap) antara Si Kaya dan Si Miskin. Dari fakta ini saja, sulit untuk membantah bahwa jumlah rakyat miskin akan semakin meningkat pada tahun 2009.
Kedua, penghapusan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Pada tahun 2008, keluarga miskin yang dianggap layak untuk mendapatkan BLT sebanyak 19,2 juta keluarga dengan alokasi masing-masing Rp 100 ribu per bulan per keluarga. Terlepas dari kontroversi program tersebut, BLT selama ini agak sedikit membantu mengurangi beban belasan juta rakyat miskin dan bahkan jutaan di antaranya tidak lagi dikategorikan sebagai keluarga miskin akibat BLT.
Dengan dihapusnya program BLT, keluarga-keluarga yang berhasil masuk kategori tidak miskin (mendekati miskin/near poor) pada tahun 2008 praktis akan kembali masuk kategori miskin pada tahun 2009. Pencabutan BLT tanpa program pengganti yang sepadan, jelas akan menambah beban ekonomi keluarga miskin. Fakta ini lagi-lagi semakin meyakinkan bahwa angka kemiskinan akan semakin bertambah pada tahun ini.
Memang pemerintah telah mencanangkan program pengganti BLT yaitu program Bantuan Tunai Bersyarat (BTB). Namun program tersebut hingga saat ini belum dijalankan dan diperkirakan baru dimulai sekitar bulan Juli 2009. Selain itu, jumlah target program BTB tidak sebesar program BLT yaitu hanya diberikan kepada 500.000 keluarga. Itupun masih sangat terbatas pada keluarga yang memiliki ibu hamil dan anak sekolah.
Ketiga, kenaikan harga bahan kebutuhan pokok tak terkendali, sehingga inflasi yang dihadapi orang miskin relatif lebih besar. Beban ekonomi kelompok miskin semakin bertambah dengan kegagalan pemerintah menstabilkan harga-harga kebutuhan pokok seperti beras dan minyak goreng. Harga beras medium pada Maret 2009 telah meningkat sekitar 16 persen dibanding Maret 2008 dan harga minyak goreng pada Juni 2009 juga telah meningkat 60 persen dibanding Juni 2008.
Kenaikan harga bahan pokok ini praktis akan menurunkan daya beli masyarakat miskin, karena bobot beras dan minyak goreng dalam keranjang belanja rakyat miskin relatif lebih tinggi dibanding rata-rata nasional. Dari hasil Susenas 2002, bobot beras dalam keranjang belanja rakyat miskin sekitar 24 persen, sementara bobot beras yang menjadi acuan perhitungan inflasi hanya sekitar 6 persen.
Demikian juga bobot minyak goreng dalam keranjang belanja rakyat miskin sekitar 3,35 persen, sementara bobot minyak goreng yang menjadi acuan perhitungan inflasi hanya sekitar 1,3 persen. Dengan kata lain, akibat kenaikan harga kebutuhan pokok tersebut, inflasi yang dihadapi kelompok miskin menjadi relatif lebih tinggi dari inflasi yang tercatat oleh BPS. Hasil studi yang dilakukan oleh ADB dan BPS juga mendukung kesimpulan tersebut yaitu inflasi yang ditanggung oleh kelompok miskin mencapai lebih dari dua kali lipat inflasi rata-rata nasional.
Keempat, pelaksanaan program Raskin (Beras Miskin) ternyata tidak efektif untuk mengurangi beban rakyat miskin. Dalam program Raskin, beras seharusnya dibagikan sebesar 20 kilogram per bulan per keluarga miskin. Akan tetapi faktanya di lapangan, dari hasil Susenas 2005, beras miskin hanya dibagikan rata-rata 5,8 per kilogram per bulan per keluarga. Di samping itu terdapat perbedaan antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan harga yang dibayar rakyat di lapangan. Seharusnya biaya transportasi ditanggung oleh Bulog sampai Ibu Kota Kecamatan, sedangkan biaya distribusi hingga ke desa-desa akan menjadi tanggung jawab Pemda. Tetapi faktanya banyak Pemda yang tidak menyediakan anggaran untuk Raskin sehingga rakyat miskinlah yang harus menanggung biayanya. Akhirnya Raskin yang semestinya dijual seharga Rp 1,000 per kilogram, dalam kenyataannya rakyat harus membayar Rp 1,650 per kilogram.
Dengan berbagai fakta di atas, hampir dapat dipastikan bahwa angka kemiskinan 2007 yang akan diumumkan BPS dalam waktu dekat ini akan kembali meningkat dari tahun sebelumnya. Angka kemiskinan hanya akan bisa turun dengan dua kemungkinan: (1) melakukan perubahan dan rekayasa metodologi perhitungan, (2) melakukan perubahan atau ”pembersihan” sampel data, yang merupakan cara-cara yang sangat vulgar dan manipulatif, serta sangat memalukan baik secara moral maupun intelektual.
Rekayasa tersebut dapat terjadi karena pemerintah dan tim ekonomi dengan sengaja memilih kebijakan ekonomi monetaris dan neoliberal yang sangat tidak pro-rakyat dan menjadi penyebab meningkatnya pengangguran dan kemiskinan.

Orang Miskin Indonesia Makin Banyak

JUMLAH penduduk miskin dan jumlah pengangguran adalah dua indikator fundamental yang dibutuhkan untuk mengukur apakah proses pembangunan di sebuah negara berhasil, atau tidak.
Dua bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa tingkat pengangguran di Februari 2009 adalah sebesar 9,75 persen. Angka ini lebih rendah dibanding pada Februari 2008 (10,4 persen). Artinya, menurut BPS yang kini bekerja di bawah koordinasi pemerintah via Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kepala Bappenas, telah terjadi pengurangan jumlah pengangguran di tanah air dalam satu tahun terakhir. Benarkah?
Banyak pihak, antara lain Tim Indonesia Bangkit (TIB) telah mengkritisi laporan BPS ini. Menurut TIB yang dimotori oleh sekelompok ekonom seperti Rizal Ramli, Fadhi Hasan, Hendri Saparini, dan Drajad H Wibowo, hasil penelitian BPS itu layak dicurigai, karena faktanya kehidupan masyarakat semakin sulit dan jumlah angkatan kerja menurun drastis.
Dalam waktu dekat ini, giliran perhitungan mengenai jumlah penduduk miskin yang akan diumumkan oleh BPS. Mendahului BPS, Tim Indonesia Bangkit lebih dahulu menyampaikan pandangan mereka tentang tingkat kemiskinan penduduk di Indonesia dalam satu tahun terakhir. Kesimpulannya, jumlah penduduk miskin Indonesia di tahun ini lebih banyak dibanding tahun lalu.
Menurut TIB mudah untuk menyimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan, terutama kalangan bawah, semakin merosot selama setahun terakhir. Lihat saja berbagai kasus gizi buruk, wabah penyakit akibat kualitas makanan dan lingkungan yang buruk, sampai kasus bunuh diri satu keluarga karena himpitan ekonomi, atau kasus anak sekolah bunuh diri karena malu akibat orang tua tak lagi mampu membayar uang sekolah. Kesemua hal ini memberikan gambaran yang jelas bahwa kualitas hidup masyarakat semakin buruk.
TIB juga menggarisbawahi beberapa hal yang mendorong peningkatan jumlah penduduk miskin itu.
Pertama, daya beli rakyat kecil terus merosot. Disebut merosot bila kenaikan pendapatan lebih rendah daripada kenaikan harga barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Salah satu indikator yang sangat gamblang untuk mengukur hal ini adalah upah riil atau upah nominal yang telah disesuaikan dengan inflasi. Ternyata, meskipun inflasi yang tercatat oleh BPS selama setahun terakhir telah cukup rendah, antara 6-7 persen, namun upah riil yang diperoleh masyarakat masih terus mengalami penurunan. Penurunan tersebut bahkan terjadi hampir di semua sektor dan kegiatan ekonomi yang tercatat dalam laporan BPS.
Antara Maret 2008 sampai Maret 2009, upah riil petani, misalnya, mengalami penurunan sekitar 0,2 persen. Pada periode yang sama, upah riil buruh bangunan, pembantu rumah tangga dan potong rambut wanita masing-masing mengalami penurunan sekitar 2 persen, 0,5 persen, dan 2,5 persen. Demikian juga dengan untuk upah riil buruh industri yang mengalami penurunan sekitar 1,2 persen selama tahun 2008.
Penurunan upah riil untuk kelompok rakyat kecil di atas semakin menunjukkan bahwa nilai tambah yang diciptakan ekonomi melalui pertumbuhan GDP sekitar 5,5 persen selama tahun 2008 hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas, yang semakin memperbesar kesenjangan (gap) antara Si Kaya dan Si Miskin. Dari fakta ini saja, sulit untuk membantah bahwa jumlah rakyat miskin akan semakin meningkat pada tahun 2009.
Kedua, penghapusan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Pada tahun 2008, keluarga miskin yang dianggap layak untuk mendapatkan BLT sebanyak 19,2 juta keluarga dengan alokasi masing-masing Rp 100 ribu per bulan per keluarga. Terlepas dari kontroversi program tersebut, BLT selama ini agak sedikit membantu mengurangi beban belasan juta rakyat miskin dan bahkan jutaan di antaranya tidak lagi dikategorikan sebagai keluarga miskin akibat BLT.
Dengan dihapusnya program BLT, keluarga-keluarga yang berhasil masuk kategori tidak miskin (mendekati miskin/near poor) pada tahun 2008 praktis akan kembali masuk kategori miskin pada tahun 2009. Pencabutan BLT tanpa program pengganti yang sepadan, jelas akan menambah beban ekonomi keluarga miskin. Fakta ini lagi-lagi semakin meyakinkan bahwa angka kemiskinan akan semakin bertambah pada tahun ini.
Memang pemerintah telah mencanangkan program pengganti BLT yaitu program Bantuan Tunai Bersyarat (BTB). Namun program tersebut hingga saat ini belum dijalankan dan diperkirakan baru dimulai sekitar bulan Juli 2009. Selain itu, jumlah target program BTB tidak sebesar program BLT yaitu hanya diberikan kepada 500.000 keluarga. Itupun masih sangat terbatas pada keluarga yang memiliki ibu hamil dan anak sekolah.
Ketiga, kenaikan harga bahan kebutuhan pokok tak terkendali, sehingga inflasi yang dihadapi orang miskin relatif lebih besar. Beban ekonomi kelompok miskin semakin bertambah dengan kegagalan pemerintah menstabilkan harga-harga kebutuhan pokok seperti beras dan minyak goreng. Harga beras medium pada Maret 2009 telah meningkat sekitar 16 persen dibanding Maret 2008 dan harga minyak goreng pada Juni 2009 juga telah meningkat 60 persen dibanding Juni 2008.
Kenaikan harga bahan pokok ini praktis akan menurunkan daya beli masyarakat miskin, karena bobot beras dan minyak goreng dalam keranjang belanja rakyat miskin relatif lebih tinggi dibanding rata-rata nasional. Dari hasil Susenas 2002, bobot beras dalam keranjang belanja rakyat miskin sekitar 24 persen, sementara bobot beras yang menjadi acuan perhitungan inflasi hanya sekitar 6 persen.
Demikian juga bobot minyak goreng dalam keranjang belanja rakyat miskin sekitar 3,35 persen, sementara bobot minyak goreng yang menjadi acuan perhitungan inflasi hanya sekitar 1,3 persen. Dengan kata lain, akibat kenaikan harga kebutuhan pokok tersebut, inflasi yang dihadapi kelompok miskin menjadi relatif lebih tinggi dari inflasi yang tercatat oleh BPS. Hasil studi yang dilakukan oleh ADB dan BPS juga mendukung kesimpulan tersebut yaitu inflasi yang ditanggung oleh kelompok miskin mencapai lebih dari dua kali lipat inflasi rata-rata nasional.
Keempat, pelaksanaan program Raskin (Beras Miskin) ternyata tidak efektif untuk mengurangi beban rakyat miskin. Dalam program Raskin, beras seharusnya dibagikan sebesar 20 kilogram per bulan per keluarga miskin. Akan tetapi faktanya di lapangan, dari hasil Susenas 2005, beras miskin hanya dibagikan rata-rata 5,8 per kilogram per bulan per keluarga. Di samping itu terdapat perbedaan antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan harga yang dibayar rakyat di lapangan. Seharusnya biaya transportasi ditanggung oleh Bulog sampai Ibu Kota Kecamatan, sedangkan biaya distribusi hingga ke desa-desa akan menjadi tanggung jawab Pemda. Tetapi faktanya banyak Pemda yang tidak menyediakan anggaran untuk Raskin sehingga rakyat miskinlah yang harus menanggung biayanya. Akhirnya Raskin yang semestinya dijual seharga Rp 1,000 per kilogram, dalam kenyataannya rakyat harus membayar Rp 1,650 per kilogram.
Dengan berbagai fakta di atas, hampir dapat dipastikan bahwa angka kemiskinan 2007 yang akan diumumkan BPS dalam waktu dekat ini akan kembali meningkat dari tahun sebelumnya. Angka kemiskinan hanya akan bisa turun dengan dua kemungkinan: (1) melakukan perubahan dan rekayasa metodologi perhitungan, (2) melakukan perubahan atau ”pembersihan” sampel data, yang merupakan cara-cara yang sangat vulgar dan manipulatif, serta sangat memalukan baik secara moral maupun intelektual.
Rekayasa tersebut dapat terjadi karena pemerintah dan tim ekonomi dengan sengaja memilih kebijakan ekonomi monetaris dan neoliberal yang sangat tidak pro-rakyat dan menjadi penyebab meningkatnya pengangguran dan kemiskinan.

Bisnis Perdagangan Wanita Indonesia ke Malaysia Kian Marak

Pada 2009-2010, dilaporkan 8.800 perempuan Indonesia terjebak dalam sindikat yang mempekerjakan mereka sebagai PSK di Malaysia. Mereka terjebak setelah tergiur dengan tawaran bekerja sebagai pelayan restoran atau kedai makanan dengan gaji antara 500-1.000 Ringgit Malaysia.
Para pelaku menawarkan proses pemberangkatan yang mudah dan murah, pasalnya biaya keberangkatan dan selama tinggal di Malaysia ditanggung cukong atau orang yang mempekerjakan para wanita itu. Kelengkapan administrasi dan paspor pun telah ada yang mengurus.
Umumnya kantor ini didirikan di sepanjang perbatasan seperti Entekong, Tanjung Pinang dan Batam. Namun, sesampainya di Malaysia, para wanita ini justru dipekerjakan sebagai PSK dibawah penjagaan yang ketat. Polisi Diraja Malaysia mencatat tiap tahunnya lebih dari 2 ribu wanita Indonesia ini terjaring dalam operasi asusila.
Mereka terjaring karena tidak memiliki identitas lengkap, sebab paspor dan surat-surat lain ditahan oleh cukong yang membawa. Umumnya mereka diwajibkan bekerja sebanyak 150 kong atau melayani 150 laki-laki hidung belang sebagai bayaran pembuatan paspor dan biaya keberangkatan yang ternyata dihitung sebagai hutang.
Tiap tahunnya, korban yang melapor ke KBRI hanya sedikit, berkisar antara 100-150. Ini karena para korban itu berada di bawah penjagaan yang ketat. Korban yang melapor umumnya adalah mereka yang berhasil lari dari pengawasan. KBRI di Malaysia telah bekerjasama dengan Badan Reserse Malaysia untuk menangkap anggota sindikat perdagangan wanita ini.
Nantinya mereka yang tertangkap akan dimasukkan dalam kategori hukum transnasional, mengingat kejahatan ini dilakukan di dua wilayah yang berbeda. Saat ini sedikitnya 6 kelompok sindikat telah ditangkap dan sedang menjalani proses hukum, namun masih banyak sindikat lain yang terus beroperasi.

Jumat, 26 Februari 2010

HARUSKAH PENDERITAAN INI KUALAMI TERUS MENERUS?

Bukan maksudku membeberkan kejelekan orang, —yang dalam hal ini adalah suamiku sendiri— kepada Anda. Tapi aku ingin penderitaan dan siksaan yang kualami ini bisa menjadi pengalaman berharga bagi Anda. Ada duka, ada tangis dan ada perjuangan kuakui sebagai bagian dari hidup yang kini kujalani. Setidaknya itu membuatku sadar, perempuan diciptakan bukan untuk dikerasi, dikejami atau dikhianati.

Seperti yang telah kukatakan di awal tulisan, ini perkawinanku yang kedua setelah aku menjanda beberapa waktu lamanya. Status janda yang melekat pada diriku sempat menjadikan hubungan dengan calon suamiku ditentang oleh keluarganya. Namun karena kami saling mencinta, dia tetap bertahan dan tetap memutuskan untuk menikah denganku dan membangun sebuah keluarga yang penuh kasih dan cinta.

Awal perkawinan kami jalani dengan penuh kebahagiaan, walaupun kehidupan ekonomi kami masih pas-pasan dan hidup kami masih berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain. Kebahagiaan kami bertambah dengan lahirnya satu persatu putra putri kami sampai akhirnya kami memiliki 4 orang anak. Setelah suamiku bekerja di sebuah perusahaan BUMN, dan kehidupan ekonomi keluarga kami semakin membaik sehingga kami mampu membeli sebuah rumah mungil, prahara mulai datang.

Sejak kami menempati rumah kami yang baru, banyak perubahan yang terjadi pada suamiku. Ia mulai tidak betah di rumah, sering marah-marah tanpa sebab yang jelas. Jika diajak membicarakan suatu masalah, misalnya mengenai pendidikan anak, ia selalu mengatakan bahwa ia sedang sibuk dan tak ingin diganggu. Tidak ada ada lagi kata musyawarah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan, sekalipun itu persoalan kecil.
Yang ada hanya pertengkaran yang kemudian diakhiri dengan bentakan-bentakan kasar dan berlanjut dengan pemukulan. Aku tak mengerti mengapa suamiku berubah menjadi sekasar itu. Dari informasi seorang rekan kerja suamiku, akhirnya kuketahui ternyata suamiku mulai melirik perempuan lain.

Lama-kelamaan suamiku semakin terbiasa menggunakan tangannya untuk menyelesaikan setiap permasalahan. Setiap kali ada masalah, baik itu yang ditimbulkan oleh perbedaan pendapat maupun karena campur tangan pihak ketiga (dalam hal ini keluarga suamiku, karena semenjak kehidupan ekonomi keluarga kami mulai membaik, keluarga suamiku telah menerima kami dan mulai masuk dalam kehidupan kami), suamiku akan bertindak kasar dan mulai memukul, menempeleng atau membentur-benturkan kepalaku ke tembok dinding rumah kami.

Karena aku tidak bekerja, otomatis kehidupanku bergantung kepada suamiku. Bagaimanapun aku hanya bisa berdiam diri dan menuruti apa saja yang diingini suamiku. Selama menikah, aku sama sekali tidak diperkenankan bergaul dengan tetanggaku, sehingga siksaan yang kualami, tidak pernah diketahui oleh mereka.
Yang aku tak pernah lupa, pada saat aku melaporkan perlakuan buruk suamiku, ada beberapa petugas yang menganjurkanku untuk tidak melanjutkan kasus ini. Mereka malah bilang, “Apa ibu tidak menyesal melaporkan kejelekan suami ibu sendiri? Apa tidak sebaiknya diselesaikan di rumah saja? Bagaimana nanti dengan anak-anak?”. Tapi waktu itu aku tetap pada pendirianku. Aku sudah tidak tahan diperlakukan kejam oleh suamiku.

Sampai hampir dua bulan, kabar mengenai kelanjutan laporanku tak juga kuterima. Sementara itu, dari hari ke hari perlakuan suamiku tidak pernah berubah, bahkan lebih buruk. Tiada jalan lain, akhirnya aku meminta bantuan LBH APIK (yang dikenalnya lewat sebuah media cetak ibukota, red) untuk menangani kasusku. Berkat laporan pengacara di LBH APIK, kasusku dapat di proses dan diajukan ke Pengadilan Negeri. Selama dalam proses pemeriksaan, aku mengharapkan suamiku dapat ditahan, agar ia dapat merasakan hukuman atas kesalahan yang dilakukannya padaku. Tapi harapan tinggal harapan, karena menurut pengacaraku, suamiku pegawai BUMN dan pengadilan menganggap kesalahan yang dilakukan suamiku bukan kesalahan berat, maka pihak kepolisian maupun kejaksaan tidak menahannya. Sungguh aku tidak paham mengapa pengadilan menganggap perlakuan kejam suamiku bukan kesalahan berat. Padahal, jelas-jelas itu membuatku menderita. Aku juga tidak habis mengerti mengapa selama dalam proses pemeriksaan, berkali-kali petugas kepolisian berusaha menghubungiku dan menyalahkan aku karena melaporkan kasus ini pada LBH APIK. Dan berulang kali pula mereka selalu menanyakan hal-hal yang tak masuk akal, seperti bagaimana kasusnya, kemudian apakah aku sudah memutuskan untuk mencabut kasus ini? Aku merasa diteror!

Akhirnya Pengadilan Negeri menjatuhkan hukuman kurungan 8 bulan dengan masa percobaan 1 tahun kepadanya. Artinya, apabila dalam masa percobaan satu tahun itu suamiku melakukan penganiayaan lagi, maka secara otomatis ia harus menjalani hukumannya tanpa melalui persidangan lagi. Terus terang aku sangat kecewa dan merasakan adanya ketidak adilan, karena bagiku hukuman itu terlalu ringan dan tidak setimpal dengan penderitaan yang kualami. Aku memang buta hukum, tapi aku tetap mendambakan keadilan.

Sejak pengadilan menjatuhkan vonis bagi suamiku, aku memang terlepas dari pemukulan dan penganiayaan suamiku, karena kami sudah tidak tinggal serumah lagi. Aku dan anak-anakku tetap menempati rumah kami, sementara suamiku kembali ke rumah orangtuanya. Namun janji yang diucapkannya di depan persidangan untuk memberikan nafkah buatku dan anak-anakku tidak pernah terlaksana.Ia hanya memberi uang belanja sebesar Rp 35.000 (Tiga puluh lima ribu rupiah). Apalah arti uang dengan jumlah sekecil itu, sementara usia anak-anak semakin bertambah dan kebutuhanpun semakin meningkat. Untuk mendapatkan yang lebih baik terutama untuk keempat anakku, dengan bantuan LBH APIK aku mengajukan tuntutan terhadap suamiku untuk memberikan nafkah yang layak melalui kantor tempat suamiku bekerja. Tapi yang terjadi justru atasan suamiku marah karena aku memakai pengacara dan menuduhku sebagai penyebab penganiayaan yang selama ini terjadi. Apalagi selama ini, ia mengenal suamiku sebagai seorang bawahan yang baik.

Tuhan, ternyata penderitaanku belum selesai! Kini suamiku sedang mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama dengan alasan bahwa aku tidak mampu bertindak sebagai isteri dan menuduhku sebagai isteri yang tidak baik karena menginginkan suaminya dihukum. Alasan yang tak masuk akal ini persis sama dengan apa yang diutarakan petugas yang pernah memeriksaku. Aku tak mengerti, apakah tindakanku melaporkan perlakuan kejam suamiku pada pihak yang berwajib adalah suatu perbuatan yang tidak baik? Apakah aku sebagai seorang isteri harus terus berdiam diri diperlakukan semena-mena oleh suaminya sendiri?
________________________________________