Bukan maksudku membeberkan kejelekan orang, —yang dalam hal ini adalah suamiku sendiri— kepada Anda. Tapi aku ingin penderitaan dan siksaan yang kualami ini bisa menjadi pengalaman berharga bagi Anda. Ada duka, ada tangis dan ada perjuangan kuakui sebagai bagian dari hidup yang kini kujalani. Setidaknya itu membuatku sadar, perempuan diciptakan bukan untuk dikerasi, dikejami atau dikhianati.
Seperti yang telah kukatakan di awal tulisan, ini perkawinanku yang kedua setelah aku menjanda beberapa waktu lamanya. Status janda yang melekat pada diriku sempat menjadikan hubungan dengan calon suamiku ditentang oleh keluarganya. Namun karena kami saling mencinta, dia tetap bertahan dan tetap memutuskan untuk menikah denganku dan membangun sebuah keluarga yang penuh kasih dan cinta.
Awal perkawinan kami jalani dengan penuh kebahagiaan, walaupun kehidupan ekonomi kami masih pas-pasan dan hidup kami masih berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain. Kebahagiaan kami bertambah dengan lahirnya satu persatu putra putri kami sampai akhirnya kami memiliki 4 orang anak. Setelah suamiku bekerja di sebuah perusahaan BUMN, dan kehidupan ekonomi keluarga kami semakin membaik sehingga kami mampu membeli sebuah rumah mungil, prahara mulai datang.
Sejak kami menempati rumah kami yang baru, banyak perubahan yang terjadi pada suamiku. Ia mulai tidak betah di rumah, sering marah-marah tanpa sebab yang jelas. Jika diajak membicarakan suatu masalah, misalnya mengenai pendidikan anak, ia selalu mengatakan bahwa ia sedang sibuk dan tak ingin diganggu. Tidak ada ada lagi kata musyawarah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan, sekalipun itu persoalan kecil.
Yang ada hanya pertengkaran yang kemudian diakhiri dengan bentakan-bentakan kasar dan berlanjut dengan pemukulan. Aku tak mengerti mengapa suamiku berubah menjadi sekasar itu. Dari informasi seorang rekan kerja suamiku, akhirnya kuketahui ternyata suamiku mulai melirik perempuan lain.
Lama-kelamaan suamiku semakin terbiasa menggunakan tangannya untuk menyelesaikan setiap permasalahan. Setiap kali ada masalah, baik itu yang ditimbulkan oleh perbedaan pendapat maupun karena campur tangan pihak ketiga (dalam hal ini keluarga suamiku, karena semenjak kehidupan ekonomi keluarga kami mulai membaik, keluarga suamiku telah menerima kami dan mulai masuk dalam kehidupan kami), suamiku akan bertindak kasar dan mulai memukul, menempeleng atau membentur-benturkan kepalaku ke tembok dinding rumah kami.
Karena aku tidak bekerja, otomatis kehidupanku bergantung kepada suamiku. Bagaimanapun aku hanya bisa berdiam diri dan menuruti apa saja yang diingini suamiku. Selama menikah, aku sama sekali tidak diperkenankan bergaul dengan tetanggaku, sehingga siksaan yang kualami, tidak pernah diketahui oleh mereka.
Yang aku tak pernah lupa, pada saat aku melaporkan perlakuan buruk suamiku, ada beberapa petugas yang menganjurkanku untuk tidak melanjutkan kasus ini. Mereka malah bilang, “Apa ibu tidak menyesal melaporkan kejelekan suami ibu sendiri? Apa tidak sebaiknya diselesaikan di rumah saja? Bagaimana nanti dengan anak-anak?”. Tapi waktu itu aku tetap pada pendirianku. Aku sudah tidak tahan diperlakukan kejam oleh suamiku.
Sampai hampir dua bulan, kabar mengenai kelanjutan laporanku tak juga kuterima. Sementara itu, dari hari ke hari perlakuan suamiku tidak pernah berubah, bahkan lebih buruk. Tiada jalan lain, akhirnya aku meminta bantuan LBH APIK (yang dikenalnya lewat sebuah media cetak ibukota, red) untuk menangani kasusku. Berkat laporan pengacara di LBH APIK, kasusku dapat di proses dan diajukan ke Pengadilan Negeri. Selama dalam proses pemeriksaan, aku mengharapkan suamiku dapat ditahan, agar ia dapat merasakan hukuman atas kesalahan yang dilakukannya padaku. Tapi harapan tinggal harapan, karena menurut pengacaraku, suamiku pegawai BUMN dan pengadilan menganggap kesalahan yang dilakukan suamiku bukan kesalahan berat, maka pihak kepolisian maupun kejaksaan tidak menahannya. Sungguh aku tidak paham mengapa pengadilan menganggap perlakuan kejam suamiku bukan kesalahan berat. Padahal, jelas-jelas itu membuatku menderita. Aku juga tidak habis mengerti mengapa selama dalam proses pemeriksaan, berkali-kali petugas kepolisian berusaha menghubungiku dan menyalahkan aku karena melaporkan kasus ini pada LBH APIK. Dan berulang kali pula mereka selalu menanyakan hal-hal yang tak masuk akal, seperti bagaimana kasusnya, kemudian apakah aku sudah memutuskan untuk mencabut kasus ini? Aku merasa diteror!
Akhirnya Pengadilan Negeri menjatuhkan hukuman kurungan 8 bulan dengan masa percobaan 1 tahun kepadanya. Artinya, apabila dalam masa percobaan satu tahun itu suamiku melakukan penganiayaan lagi, maka secara otomatis ia harus menjalani hukumannya tanpa melalui persidangan lagi. Terus terang aku sangat kecewa dan merasakan adanya ketidak adilan, karena bagiku hukuman itu terlalu ringan dan tidak setimpal dengan penderitaan yang kualami. Aku memang buta hukum, tapi aku tetap mendambakan keadilan.
Sejak pengadilan menjatuhkan vonis bagi suamiku, aku memang terlepas dari pemukulan dan penganiayaan suamiku, karena kami sudah tidak tinggal serumah lagi. Aku dan anak-anakku tetap menempati rumah kami, sementara suamiku kembali ke rumah orangtuanya. Namun janji yang diucapkannya di depan persidangan untuk memberikan nafkah buatku dan anak-anakku tidak pernah terlaksana.Ia hanya memberi uang belanja sebesar Rp 35.000 (Tiga puluh lima ribu rupiah). Apalah arti uang dengan jumlah sekecil itu, sementara usia anak-anak semakin bertambah dan kebutuhanpun semakin meningkat. Untuk mendapatkan yang lebih baik terutama untuk keempat anakku, dengan bantuan LBH APIK aku mengajukan tuntutan terhadap suamiku untuk memberikan nafkah yang layak melalui kantor tempat suamiku bekerja. Tapi yang terjadi justru atasan suamiku marah karena aku memakai pengacara dan menuduhku sebagai penyebab penganiayaan yang selama ini terjadi. Apalagi selama ini, ia mengenal suamiku sebagai seorang bawahan yang baik.
Tuhan, ternyata penderitaanku belum selesai! Kini suamiku sedang mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama dengan alasan bahwa aku tidak mampu bertindak sebagai isteri dan menuduhku sebagai isteri yang tidak baik karena menginginkan suaminya dihukum. Alasan yang tak masuk akal ini persis sama dengan apa yang diutarakan petugas yang pernah memeriksaku. Aku tak mengerti, apakah tindakanku melaporkan perlakuan kejam suamiku pada pihak yang berwajib adalah suatu perbuatan yang tidak baik? Apakah aku sebagai seorang isteri harus terus berdiam diri diperlakukan semena-mena oleh suaminya sendiri?
________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar