JUMLAH penduduk miskin dan jumlah pengangguran adalah dua indikator fundamental yang dibutuhkan untuk mengukur apakah proses pembangunan di sebuah negara berhasil, atau tidak.
Dua bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa tingkat pengangguran di Februari 2009 adalah sebesar 9,75 persen. Angka ini lebih rendah dibanding pada Februari 2008 (10,4 persen). Artinya, menurut BPS yang kini bekerja di bawah koordinasi pemerintah via Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kepala Bappenas, telah terjadi pengurangan jumlah pengangguran di tanah air dalam satu tahun terakhir. Benarkah?
Banyak pihak, antara lain Tim Indonesia Bangkit (TIB) telah mengkritisi laporan BPS ini. Menurut TIB yang dimotori oleh sekelompok ekonom seperti Rizal Ramli, Fadhi Hasan, Hendri Saparini, dan Drajad H Wibowo, hasil penelitian BPS itu layak dicurigai, karena faktanya kehidupan masyarakat semakin sulit dan jumlah angkatan kerja menurun drastis.
Dalam waktu dekat ini, giliran perhitungan mengenai jumlah penduduk miskin yang akan diumumkan oleh BPS. Mendahului BPS, Tim Indonesia Bangkit lebih dahulu menyampaikan pandangan mereka tentang tingkat kemiskinan penduduk di Indonesia dalam satu tahun terakhir. Kesimpulannya, jumlah penduduk miskin Indonesia di tahun ini lebih banyak dibanding tahun lalu.
Menurut TIB mudah untuk menyimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan, terutama kalangan bawah, semakin merosot selama setahun terakhir. Lihat saja berbagai kasus gizi buruk, wabah penyakit akibat kualitas makanan dan lingkungan yang buruk, sampai kasus bunuh diri satu keluarga karena himpitan ekonomi, atau kasus anak sekolah bunuh diri karena malu akibat orang tua tak lagi mampu membayar uang sekolah. Kesemua hal ini memberikan gambaran yang jelas bahwa kualitas hidup masyarakat semakin buruk.
TIB juga menggarisbawahi beberapa hal yang mendorong peningkatan jumlah penduduk miskin itu.
Pertama, daya beli rakyat kecil terus merosot. Disebut merosot bila kenaikan pendapatan lebih rendah daripada kenaikan harga barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Salah satu indikator yang sangat gamblang untuk mengukur hal ini adalah upah riil atau upah nominal yang telah disesuaikan dengan inflasi. Ternyata, meskipun inflasi yang tercatat oleh BPS selama setahun terakhir telah cukup rendah, antara 6-7 persen, namun upah riil yang diperoleh masyarakat masih terus mengalami penurunan. Penurunan tersebut bahkan terjadi hampir di semua sektor dan kegiatan ekonomi yang tercatat dalam laporan BPS.
Antara Maret 2008 sampai Maret 2009, upah riil petani, misalnya, mengalami penurunan sekitar 0,2 persen. Pada periode yang sama, upah riil buruh bangunan, pembantu rumah tangga dan potong rambut wanita masing-masing mengalami penurunan sekitar 2 persen, 0,5 persen, dan 2,5 persen. Demikian juga dengan untuk upah riil buruh industri yang mengalami penurunan sekitar 1,2 persen selama tahun 2008.
Penurunan upah riil untuk kelompok rakyat kecil di atas semakin menunjukkan bahwa nilai tambah yang diciptakan ekonomi melalui pertumbuhan GDP sekitar 5,5 persen selama tahun 2008 hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas, yang semakin memperbesar kesenjangan (gap) antara Si Kaya dan Si Miskin. Dari fakta ini saja, sulit untuk membantah bahwa jumlah rakyat miskin akan semakin meningkat pada tahun 2009.
Kedua, penghapusan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Pada tahun 2008, keluarga miskin yang dianggap layak untuk mendapatkan BLT sebanyak 19,2 juta keluarga dengan alokasi masing-masing Rp 100 ribu per bulan per keluarga. Terlepas dari kontroversi program tersebut, BLT selama ini agak sedikit membantu mengurangi beban belasan juta rakyat miskin dan bahkan jutaan di antaranya tidak lagi dikategorikan sebagai keluarga miskin akibat BLT.
Dengan dihapusnya program BLT, keluarga-keluarga yang berhasil masuk kategori tidak miskin (mendekati miskin/near poor) pada tahun 2008 praktis akan kembali masuk kategori miskin pada tahun 2009. Pencabutan BLT tanpa program pengganti yang sepadan, jelas akan menambah beban ekonomi keluarga miskin. Fakta ini lagi-lagi semakin meyakinkan bahwa angka kemiskinan akan semakin bertambah pada tahun ini.
Memang pemerintah telah mencanangkan program pengganti BLT yaitu program Bantuan Tunai Bersyarat (BTB). Namun program tersebut hingga saat ini belum dijalankan dan diperkirakan baru dimulai sekitar bulan Juli 2009. Selain itu, jumlah target program BTB tidak sebesar program BLT yaitu hanya diberikan kepada 500.000 keluarga. Itupun masih sangat terbatas pada keluarga yang memiliki ibu hamil dan anak sekolah.
Ketiga, kenaikan harga bahan kebutuhan pokok tak terkendali, sehingga inflasi yang dihadapi orang miskin relatif lebih besar. Beban ekonomi kelompok miskin semakin bertambah dengan kegagalan pemerintah menstabilkan harga-harga kebutuhan pokok seperti beras dan minyak goreng. Harga beras medium pada Maret 2009 telah meningkat sekitar 16 persen dibanding Maret 2008 dan harga minyak goreng pada Juni 2009 juga telah meningkat 60 persen dibanding Juni 2008.
Kenaikan harga bahan pokok ini praktis akan menurunkan daya beli masyarakat miskin, karena bobot beras dan minyak goreng dalam keranjang belanja rakyat miskin relatif lebih tinggi dibanding rata-rata nasional. Dari hasil Susenas 2002, bobot beras dalam keranjang belanja rakyat miskin sekitar 24 persen, sementara bobot beras yang menjadi acuan perhitungan inflasi hanya sekitar 6 persen.
Demikian juga bobot minyak goreng dalam keranjang belanja rakyat miskin sekitar 3,35 persen, sementara bobot minyak goreng yang menjadi acuan perhitungan inflasi hanya sekitar 1,3 persen. Dengan kata lain, akibat kenaikan harga kebutuhan pokok tersebut, inflasi yang dihadapi kelompok miskin menjadi relatif lebih tinggi dari inflasi yang tercatat oleh BPS. Hasil studi yang dilakukan oleh ADB dan BPS juga mendukung kesimpulan tersebut yaitu inflasi yang ditanggung oleh kelompok miskin mencapai lebih dari dua kali lipat inflasi rata-rata nasional.
Keempat, pelaksanaan program Raskin (Beras Miskin) ternyata tidak efektif untuk mengurangi beban rakyat miskin. Dalam program Raskin, beras seharusnya dibagikan sebesar 20 kilogram per bulan per keluarga miskin. Akan tetapi faktanya di lapangan, dari hasil Susenas 2005, beras miskin hanya dibagikan rata-rata 5,8 per kilogram per bulan per keluarga. Di samping itu terdapat perbedaan antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan harga yang dibayar rakyat di lapangan. Seharusnya biaya transportasi ditanggung oleh Bulog sampai Ibu Kota Kecamatan, sedangkan biaya distribusi hingga ke desa-desa akan menjadi tanggung jawab Pemda. Tetapi faktanya banyak Pemda yang tidak menyediakan anggaran untuk Raskin sehingga rakyat miskinlah yang harus menanggung biayanya. Akhirnya Raskin yang semestinya dijual seharga Rp 1,000 per kilogram, dalam kenyataannya rakyat harus membayar Rp 1,650 per kilogram.
Dengan berbagai fakta di atas, hampir dapat dipastikan bahwa angka kemiskinan 2007 yang akan diumumkan BPS dalam waktu dekat ini akan kembali meningkat dari tahun sebelumnya. Angka kemiskinan hanya akan bisa turun dengan dua kemungkinan: (1) melakukan perubahan dan rekayasa metodologi perhitungan, (2) melakukan perubahan atau ”pembersihan” sampel data, yang merupakan cara-cara yang sangat vulgar dan manipulatif, serta sangat memalukan baik secara moral maupun intelektual.
Rekayasa tersebut dapat terjadi karena pemerintah dan tim ekonomi dengan sengaja memilih kebijakan ekonomi monetaris dan neoliberal yang sangat tidak pro-rakyat dan menjadi penyebab meningkatnya pengangguran dan kemiskinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar