Beras Bulog
Setiap pulang kampung, saya terkadang disuruh ibunda tercinta untuk mengambil jatah beras miskin di Balai Desa. Barangkali karena administratur desa mengkategorikan kami sebagai keluarga miskin, jadi kami mendapat jatah beras miskin. Saat mengambil jatah beberapa waktu lalu, di jalanan sambil naik sepeda, saya bertanya-tanya. “Bukankah bapak saya petani dan punya beras sendiri? Mengapa kami dikasih beras miskin? Memangnya pemerintah lagi panen padi, kok ngasih beras murah?”
Itulah paradoks. Situasi dikatakan paradoks ketika sesuatu itu dianggap benar dia mengandung kesalahan, juga ketika dianggap salah, dia mengandung kebenaran. Artinya, pengertian tersebut saling bertentangan. Kenyataan bahwa kami dikasih beras miskin dengan alasan kami miskin bisa jadi merupakan alasan yang benar, tapi bisa juga keliru karena kami petani yang notabene punya beras sendiri.
Antonim dari istilah kemiskinan ialah kesejahteraan. Di seantero jagad, pemaknaan terhadap kesejahteraan berbeda-beda dalam setiap wilayah. Di Afrika, khususnya Nigeria, orang dikatakan makmur ketika memiliki banyak hewan ternak. Sedangkan di Swedia, orang dikatakan sejahtera ketika memiliki banyak waktu senggang untuk keluarga—dengan syarat sudah memiliki pendapatan yang cukup bagi kehidupan sehari-hari. Di Amerika, orang dikatakan kaya jika memiliki banyak duit. Sedangkan di India, orang cukup memiliki perasaan bahagia itu sudah dianggap sejahtera. Berbeda lagi dengan masyarakat Iban di Malaysia, orang dikatakan sejahtera bila hasil panen padi melimpah ruah. Dengan demikian, dalam ukuran kesejahteraan di berbagai belahan dunia itu berbeda-beda. Tergantung pada persepsi budaya masing-masing.
Lalu apa yang menjadi acuan bagi pengertian kesejahteraan yang didefinisikan pemerintah kita? Barangkali ini yang menjadi alasan mengapa kita dikasih beras miskin, karena sehari-hari kita makan nasi. Saya menyebutnya sebagai pandangan populer.
Petani sebagai Komoditas Politik
Semenjak negara ini mengenal politik, semua permasalahan dilihat dari sudut pandang politik. Termasuk agen-agen politik, dari aparatur desa, pemerintahan kabupaten, pemerintah pusat serta lembaga-lembaga yang mengatasnamakan persatuan organisasi petani—walaupun petani tidak pernah mengenal mereka. Semuanya “menjual” nama petani untuk mendapatkan isu yang bisa jadi alat ampuh untuk meraih popularitas, yang ujung-ujungnya bagi usaha meraih kekuasaan.
Mari mencoba merefleksi, sebenarnya apa solusi permasalahan pangan kita? Bukankah sumber daya alam kita sangat subur, karena berada di daerah vulkan yang sangat sesuai untuk lahan pertanian? Bukankah jumlah masyarakat petani kita cukup banyak? Bukankah, tidak seperti di wilayah lain di dunia, sawah kita bisa menghasilkan panen per tiga bulan atau satu tahun bisa tiga kali panen?
Yang menjadi awal mula isu pangan menjadi heboh, ialah terkait proses alamiah dari kenaikan harga-harga beras. Harga beras naik itu, biasanya, berhubungan penurunan stok, seperti terkondisi oleh belum datangnya musim panen, dan lain hal. Penurunan stok beras di pasar menyebabkan harga beras sedikit naik. Apabila hal tersebut diserahkan secara alamiah kepada mekanisme pasar, dalam waktu dekat toh harga beras akan kembali normal seiring dengan kenaikan stok, misalnya dengan datangnya musim panen yang di berbagai tempat dan waktu di seluruh pulau Jawa sangat bervariasi. Apalagi bila hal itu dibandingkan dengan seluruh kawasan di Indonesia.
Kalaupun ada kenaikan permintaan terhadap beras yang menyebabkan harga naik, setidaknya ada dua kemungkinan. Pertama, karena adanya pertambahan penduduk secara pesat, sehingga menyebabkan permintaan beras menjadi lebih banyak. Yang kedua, disebabkan oleh permintaan oleh tengkulak yang berharap menimbun beras.
Bagi kemungkinan pertama, untuk jaman sekarang, saya kira pengaruhnya tidak terlalu signifikan dikarenakan sudah banyak keluarga yang ikut program KB, dan apabila ada pertumbuhan penduduk yang rata-rata 1-2% per tahun. Bukanlah lahan di luar jawa masih banyak yang belum tergarap? Atau, bukankah hasil penelitian terbaru mengenai benih unggul yang dapat memperpendek masa tanam?, atau apakah benar jumlah penduduk semakin bertambah, kalau demikian, lihat saja piramida penduduk Amerika ataupun Rusia yang menunjukkan penurunan?, toh kalau mentok, masih banyak kemungkinan adanya diversifikasi bahan makanan, karena kita mempunyai ikan dilaut yang belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk alternatif pengganti makanan pokok selain beras.
Bagi kemungkinan kedua, hanya pengusaha atau spekulan beras yang kurang pengalaman saja yang menyimpan beras atau gabah berlama-lama. Karena fluktuasi harga beras yang tidak pasti, kemungkinan spekulan tidak mau mengambil resiko menyimpan beras terlalu lama. Saya sering mendapat pengalaman memiliki tetangga spekulan yang sering mengeluh karena sebelumnya saat membeli beras harganya tinggi tapi setelah beberapa saat harganya turun. Sehingga beliau mengalami kerugian. Jadi seandainya ada anggapan bahwa penimbun selalu untung, itu hanya orang yang tidak pernah menjadi spekulan. Karena spekulan juga tidak tahu pasti mengenai masa depan akan fluktuasi harga beras.
Dengan demikian, sangat tidak beralasan bahwa reaksi-reaksi yang disebabkan oleh fluktuasi harga beras membuat kita khawatir serta takut akan kekurangan pangan. Seandainya ini terlalu dibesar-besarkan, bukan tidak mungkin akan menjadi isu yang seksi bagi politisi maupun pemerintah untuk mengambil kebijakan yang bisa jadi merugikan petani. Walaupun hal tersebut didasarkan dengan niat baik ataupun untuk mencari popularitas. Dengan demikian akan mempermudah politisi untuk bersilat lidah demi keuntungan dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar